Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi
Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi prilaku komponen tersebut selama persiapan, pengolahan, penyimpanan dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Sifat fungsional yang diamati pada penelitian ini meliputi swelling volume, kelarutan, kapasitas penyerapan air, dan derajat putih.
A. Swelling volume dan Kelarutan
Swelling volume adalah kemampuan pati untuk mengembang jika dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Collado et al., (2001) menyatakan Swelling volume merupakan perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya. Berdasarkan hal tersebut satuan swelling volume adalah ml/g bk. Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Kedua parameter tersebut merupakan petunjuk besarnya interaksi antara pati dalam bidang amorphous dan bidang kristalin (Baah, 2009).
Menurut Herawati (2009), pengaruh interaksi antara pencucian dan waktu terhadap viskositas pasta diduga terkait dengan reaksi hidrolisis parsial selama modifikasi HMT berlangsung. Keberadaan air dan suhu tinggi yang diterapkan pada modifikasi HMT menyebabkan berkurangnya amilopektin pati dan bertambahnya fraksi pati yang mempunyai berat molekul rendah (Lu et al. 1996; Vermeylen et al.2006). Bertambahnya pati dengan berat molekul rendah memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas
Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan terjadi pada saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam Ratyanake et al. (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi terganggu sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan swelling. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan (Baah, 2009).
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (pati sagu) biasanya memiliki swelling volume yang lebih besar dibandingkan pati dengan profil gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum, pati jagung, pati beras dan pati tapioka (Wattanachant et al.,2002). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C contohnya pati kacang-kacangan memiliki swelling volume yang terbatas atau sangat rendah jika dibandingkan tipe A (Kim et al., 1996).
Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Seperti halnya studi yang dilakukan oleh Kim et al. (1996), melaporkan bahwa pati kentang yang mempunyai swelling volume lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan mempunyai kelarutan yang tinggi pula.
Dalam kondisi termodifikasi HMT, granula pati kemungkinan tidak mengalami proses interaksi seperti pada proses gelatinisasi tanpa modifikasi. Hal ini disebabkan karena menurut Miyoshi (2001) pati yang dimodifikasi HMT mengalami perubahan susunan struktur dan kristalisasi. Perubahan ini kemungkinan menyebabkan pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada di luar granula dengan molekul pati baik amilosa maupun amilopektin menjadi lebih sulit, sehingga kemampuan granula untuk membengkak menjadi terbatas.
Keterkaitan antara swelling volume dan kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interkasi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and karkalas (1996) seperti yang dikutip oleh Muhamed et al. (2008), telah mengekspresikan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.
Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang tinggi pada umumnya memiliki kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati ubi jalar yang mengandung amilosa 15 – 25%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid seperti pada kacang-kacangan dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen berperan mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air. Oleh karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Tester dan Karkalas, 1996).
Kadar amilosa yang tinggi akan menurunkan kapasitas penyerapan air dan kelarutan. Pada amylomaize dengan kadar amilosa 42,6-67,8%, kapasitas penyerapan airnya sebesar 6,3 (g/g) (0C) dan kelarutannya sebesar 12,4%. Jika jumlah air dalam sistem dibatasi maka amilosa tidak dapat meninggalkan granula. Nisbah penyerapan air dan minyak juga dipengaruhi oleh serat yang mudah menyerap air (Richana & Suarni, 2007).
Kelarutan menunjukkan karakteristik sifat kelarutan pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang terlarut air dengan mudah keluar masuk ke dalam sistem larutan. Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air tersebut sehingga terjadi leaching amilosa (Chen et al, 2003).
Besarnya jumlah komponen amilosa yang keluar ini akan mempengaruhi viskositas pati. Semakin banyak komponen amilosa yang keluar, viskositas semakin menurun, akan tetapi, metode modifikasi HMT menyebabkan berkurangnya leaching amilosa sehingga kelarutan pati ubi jalar termodifikasi secara HMT menjadi lebih rendah dari kelarutan pati ubi jalar alami.
b. Kapasitas Penyerapan Air (KPA)
Kapasitas penyerapan air digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air dan ditentukan dengan cara sentrifugasi. Kapasitas penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorphous.
Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan demikian kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan yang membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga memengaruhi kemudahan dalam menghomogenkan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tingkat homogenitas adonan akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya titik-titik putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus (Tam et al. 2004).
c. Derajat Putih
Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan tingkat keputihan pati dibandingkan dengan standar. Setelah mengalami modifikasi, warna pati menjadi lebih gelap dibandingkan sebelum dimodifikasi. Proses pemanasan dan pendinginan dapat menyebabkan pati mengalami reaksi browning non enzimatis dari gula pereduksi dan protein yang ada pada pati. Reaksi browning enzimatis pada pati dikenal dengan reaksi maillard yaitu reaksi antara gugus hidroksil dari gula pereduksi dengan gugus amino dari protein, peptida atau asam amino menghasilkan polimer berwarna coklat (melanoidin) (Winarno, 1997).
Derajat putih pati ubi jalar diukur dengan menggunakan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapatdiukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar.
d. Freeze Thaw Stability
Pengujian freeze-thaw stability dilakukan untuk melihat apakah pati yang dihasilkan dapat disimpan dalam suhu beku (-15oC) sehingga aplikasinya memungkinkan untuk digunakan dalam produk yang harus disimpan pada suhu yang sangat rendah. Pengujian sifat ini dilakukan dengan membuat larutan pasta pati 5 % disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu beku selama 24 jam dan setelah itu diletakkan kembali pada suhu kamar selama 2-3 jam. Setelah itu sampel disentrifugasi untuk melihat jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa pati tersebut memiliki freeze-thaw stability yang rendah.
Selama penyimpanan suhu beku, pasta pati mengalami retrogradasi. Retrogradasi merupakan kecendrungan amilosa-amilopektin pasta pati untuk berikatan satu sama lain melalui ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya. Salah satu efek daripada retrogradasi ialah terjadinya sineresis yaitu keluarnya air dari pasta pati. Pada penyimpanan suhu beku ini, air dalam larutan pasta pati akan berubah bentuk menjadi kristal es. Fenomena ini tentu akan mengubah kelarutan air dalam struktur pasta pati. Martin dan Schoch (1977), mengatakan bahwa air yang telah berubah bentuk menjadi kristal es mengakibatkan peristiwa retrogradasi dalam larutan pasta pati. Apabila pasta larutan pati yang telah beku diletakkan kembali pada suhu kamar, kristal es tersebut akan kembali mencair dan air akan terpisah dari struktur pasta pati.
Sunarti et al., (2007) melaporkan nilai freeze-thaw stability yang dinyatakan dalam % sineresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah larutan pasta pati diberi perlakuan penyimpanan pada satu siklus -15oC. Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa pati tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku.
Retrogradasi pati terjadi ketika molekul pati yang telah mengalami gelatinisasi membentuk struktur kristal kembali melalui interaksi hidrogen antar sesamanya. Akibatnya, molekul air yang semula terperangkap di dalam matriks gel pati akan keluar. Pengeluaran molekul air dari matriks gel pati dinamakan dengan sineresis. Retrogradasi dan sineresis akan semakin cepat bila gel pati disimpan pada suhu rendah terutama suhu beku. Stabilitas gel pati terhadap retrogradasi dan sineresis dapat diketahui dengan mengukur jumlah air yang keluar dari gel pati yang telah mengalami proses pendinginan, pembekuan dan thawing. Pati yang lebih mudah mengalami retrogradasi umumnya mempunyai persentase sineresis yang tinggi. Pati sagu termodifikasi HMT yang diperoleh mempunyai sifat yang unik. Berdasarkan profil gelatinisasi yang diperoleh, terlihat bahwa pati termodifikasi cenderung lebih mudah mengalami retrogradasi bila dibandingkan dengan pati alaminya. Namun demikian, persentase sineresis pati termodifikasi HMT lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya (Herawati, 2009).
Sifat Amilografi
Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas pati dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Sifat amilografi tepung dapat dianalisis menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA) (Singh et al. 2003). RVA adalah viskometer yang dilengkapi dengan sistem pemanas dan pendingin untuk mengukur resistensi sampel pada pengadukan terkontrol (Collado and Corke,1999).
Beberapa sifat adonan yang dapat dilihat dari kurva hasil pengukuran menggunakan RVA antara lain suhu awal gelatinisasi atau pasting temperature (PT), yaitu suhu pada saat kurva mulai naik atau awal terbentuknya viskositas yang menandakan pati mulai menyerap air. Viskositas puncak atau peak viscosity (PV), yaitu viskositas pada puncak gelatinisasi atau menunjukkan pati tergelatinisasi.
Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada saat suhu dipertahankan 95 0C. Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown, yaitu selisih antara PV dengan TV atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Viskositas pasta dingin atau final viscosity (FV) yaitu viskositas pada saat suhu dipertahankan 50 0C. Perubahan viskositas selama pendinginan atau setback, yaitu selisih antara FV dengan TV atau menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.
Suhu gelatinisasi atau suhu pembentukan pasta adalah suhu pada saat mulai terjadi kenaikan viskositas suspensi pati bila dipanaskan. Suhu tersebut dinamakan suhu awal gelatinisasi (SAG). Apabila suhu terus meningkat, akan terjadi peningkatan gelatinisasi maksimum. Peristiwa gelatinisasi terjadi karena adanya pemutusan ikatan hidrogen sehingga air masuk ke dalam granula pati dan mengakibatkan pengembangan granula (Smith, 1982).
Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai menyerap air atau dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dengan semakin tingginya suhu selama HMT menyebabkan granula pati lebih resisten terhadap panas, sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi lagi untuk mulai tergelatinisasi. Hal tersebut terjadi karena selama proses HMT memungkinkan terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin dengan amilopektin pada bagian amorphous, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al. 2005).
Secara mikroskopik perubahan granula pati selama pemasakan berlangsung cepat dan melalui 3 tahap. Tahap pertama pada air dingin akan terjadi penyerapan air sampai kira-kira 5-30% yang bersifat reversible. Tahap kedua terjadi pada suhu sekitar 60oC ketika granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak sehingga bersifat irreversible. Sedangkan pada tahap ketiga terjadi pengembangan granula yang lebih besar lagi dan amilosa keluar dari granula pati terdispersi ke dalam larutan hingga akhirnya granula pati pecah. Makin banyak amilosa keluar dari granula pati akan lebih banyak terdispersi ke dalam larutan sehingga daya larut pati makin tinggi (Meyer, 1985).
Viskositas maksimum merupakan viskositas pasta yang dihasilkan selama pemanasan (Baah, 2009). Peningkatan penggelembungan granula oleh pengaruh panas akan meningkatkan viskositas pasta suspensi pati sampai mencapai tingkat pengembangan maksimum atau viskositas maksimum yaitu viskositas puncak pada saat terjadi gelatinisasi sempurna. Makin besar kemampuan mengembang granula pati maka viskositas pasta makin tinggi dan akhirnya akan menurun kembali setelah pecahnya granula pati (Leach, 1965; Swinkles, 1985).
Suspensi pati bila dipanaskan, granula-granula akan menggelembung karena menyerap air dan selanjutnya mengalami gelatinisasi dan mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pasta. Kenaikan viskositas ini disebabkan oleh terjadinya penggelembungan granula pati khususnya amilosa. Proses ini berlanjut terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas menurun akibat gaya ikatan antara granula-granula pati yang telah mengembang dan tergelatinisasi menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan yang keras. Selain itu struktur granula pati juga pecah sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta serta stabilitas viskositas pasta rendah (Bean and Seteser, 1992).
Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam RVA dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer, agregat serta viskositasnya menurun akibat
terjadinya leaching amilosa. Penurunan tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95˚C yang dipertahankan selama 10 menit. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95˚C selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity.
Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas (Widyaningrum dan Purwani,
2006). Pukkahuta et al. (2008) menyatakan bahwa perlakuan HMT pada pati jagung dapat menurunkan breakdown yang disebabkan karena terbentuknya ikatan antara amilosa dengan lemak yang terdapat dalam tepung jagung.
Menurut Beta dan Corke (2001) dan Panikulata (2008), breakdown viscosity berhubungan dengan kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Breakdown viscosity merupakan ukuran kemudahan pati yang dimasak untuk mengalami disintegrasi. Besarnya breakdown viscosity menunjukkan bahwa granula-granula tepung yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh dan tidak tahan terhadap proses pemanasan. Semakin rendah breakdown viscosity maka pati semakin stabil pada kondisi panas dan diberikan gaya mekanis (shear).
Menurut Hoover et al. (1993) dalam Pukkahuta et al. (2008) bahwa penurunan viskositas puncak dan viskositas breakdown diduga karena meningkatnya keteraturan matriks kristalin dan pembentukan kompleks amilosa-lemak yang menurunkan kapasitas pembengkakan granula dan memperbaiki stabilitas pasta selama pemanasan.
Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut setback viscosity. Nilai setback viscosity diperoleh dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati pada suhu 50˚C dengan viskositas maksimum yang telah dicapai pada saat pemanasan. Kenaikan viskositas pati yang terjadi disebabkan oleh retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler (Swinkels 1985 dalam Baah, 2009). Beta dan Corke (2001) menyatakan bahwa setback viscosity merupakan ukuran dari rekristalisasi pati tergelatinisasi selama pendinginan. Laju kristalisasi tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dari bahan organik dan anorganik (Fennema, 1996).
Semakin tinggi nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) lama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut didasarkan pada pengertian retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu samalain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan (Winarno, 2004).
Pengaruh suhu pemanasan HMT yaitu semakin tinggi suhu maka nilai setback akan semakin rendah. Hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Miyoshi (2002) bahwa pati kentang dan jagung HMT memiliki karakteristik lebih resisten terhadap retrogradasi (mengalami penurunan setback). Penyebab hal tersebut adalah karena pembentukan kompleks antara amilosa, amilosa dengan amilopektin, dan amilosa dengan lemak, yang terjadi selama HMT, sehingga mengurangi jumlah komponen pati terutama amilosa yang dapat saling berikatan kembali. Oleh sebab itu terjadi penurunan setback atau kemampuan untuk meretrogradasi.
selamat malam Pak, saya mona mahasiswi UNS yang sedang melakukan penelitian, mohon maaf Pak saya ingin bertanya jika hasil penelitian saya nilai viskositas setback nya itu minus itu kira-kira kenapa ya Pak? dalam arti nilai viskositas dingin pada suhu 50 sangat jauh lebih rendah dari viskositas puncaknya (tidak memiliki sifat retrogradasi sama sekali), tidak seperti penelitian lain yang biasanya mengental kembali (viskositas meningkat). mohon jika bapak berkenan menjawab pertanyaan saya bapak bisa menghubungi saya melalui email di: mona310394@gmail.com, dan itu akan sangat membantu penelitian saya. terima kasih banyak sebelumnya
ReplyDeleteselamat malam Pak saya Mona mahasiswi UNS yang sedang melakukan penelitian mengenai modifikasi pati. mohon maaf jika Bapak berkenan saya ingin bertanya mengenai hasil penelitian saya, Penelitian saya menunjukkan hasil nilai viskositas setback mendapatkan nilai minus, dalam arti nilai viskositas dingin pada suhu 50 jauh lebih rendah dari viskositas puncak ataupun viskositas pada suhu 95. padahal menurut kurva amilograf yang saya temukan seharusnya pada suhu 50 viskositas kembali mengental akibat proses retrogradasi, kira-kira menurut bapak apakah ada alasan kenapa penelitian saya menunjukkan hasil yang sebaliknya? jika bapak berkenan menjawab pertanyaan saya akan sangat membantu berjalannya penelitian saya, dan Bapak bisa menghubungi saya melalui email di: mona310394@gmail.com, dan saya akan sangat berterima kasih jika bapak berkenan membalas email saya ini, terima kasih banyak sebelumnya. salam
ReplyDeleteSelamat malam,
ReplyDeleteTulisannya bagus, cukup bermanfaat buat saya. Boleh minta referensi yang tentang rumus penentuan viskositas breakdown dan setback?
Terimakasih banyak sebelumnya